Nostalgia di Gondangdia

Kompas.com - 10/06/2013, 08:42 WIB

DI ruang-ruang rumah makan di Gondangdia hiduplah kenangan dan cita rasa. Ingatan pun menjadi magnet bagi penggemar santap di sana.

Di bangunan nomor 29 A di Jalan RP Soeroso, Jakarta, waktu seakan beku. Alunan lagu keroncong dari pemutar kaset dan kotak pengeras suara tua merambat dalam bangunan seluas 60 meter persegi Restoran Trio. Semilir angin membawa hangatnya Jakarta ke dalam restoran yang tak berpendingin itu.

Selama berpuluh tahun dinding luar restoran itu bercat hijau (hanya sekali menjadi biru pada tahun 1957, tetapi lalu dicat hijau kembali). Perabotan, meja, dan kursi kayu tua menghuni restoran. Siang itu, keluarga dengan oma dan opa yang asyik berkisah duduk berkeliling meja makan sambil sesekali menyuapkan makanan.

Ada lebih dari 200 jenis makanan dalam menu berbahasa Indonesia dan Mandarin. Jika pelik meneliti menu, tersedia papan tulis yang memuat 42 makanan pilihan, antara lain sup asparagus dengan telur kepiting, ayam nan king, sapi cah kailan, sup sarang burung, sharks fins (sirip hiu), dan gurami angsiu dengan saus asin.

”Itu hidangan yang sering dipesan,” ujar pemilik Restoran Trio, Lam Hong Kie (68) alias Effendy Sumartono. Dia mewarisi restoran yang berdiri sejak 1947 itu dari orangtuanya. Di Restoran Trio, kata Effendy, khasnya adalah makanan khas Canton. Masakan Canton tidak lepas dari saus tiram, minyak wijen, kacang kedelai hitam yang diasinkan (tausi), jahe, bawang-bawangan, dan tauco. ”Kalau mau medok Canton, rupa-rupa bumbu masak itu mesti ada,” ujarnya.

Nah, menu nomor satu di papan tulis, yaitu sup asparagus dengan telur kepiting, telah tersaji dalam pinggan logam mengilap. Hidangan itu diolah dari telur kepiting, telur bebek, suwiran daging kepiting, cairan kaldu, dan minyak wijen. Rasa manis, gurih, dan aroma jahe menyebar kehangatan di lidah.

Berkat jahe pula telur kepiting tidak menebar bau amis.

Berikutnya adalah lumpia udang ala Shanghai. ”Orang dulu menyebutnya lumpia segobang. Bentuknya mirip lonjoran setumpuk uang gobang,” katanya.

Namanya saja yang lumpia. Adonan isinya tidak dibungkus dengan kulit lumpia, tetapi telur dadar yang amat tipis. Lumpia panas yang renyah lalu dicelupkan ke dalam saus asam manis.

Di Weltevreden yang ramai

Restoran Trio didirikan oleh Lam Khai Tjioe, ayah dari Lam Hong Kie, yang datang dari daratan selatan China ke Batavia pada 1930. ”Ayah saya sempat bekerja di sebuah rumah makan Tionghoa di daerah Kota,” ujarnya.

Hingga suatu ketika sang ayah diajak membuka restoran oleh saudagar kaya juragan becak dan pengimpor mesin jahit, Tan Kim Po. ”Restoran Trio ini dulu bengkel becaknya. Ayah saya lalu mengajak iparnya,” ujarnya.

Begitu dibuka pada 1947, restoran langsung laris. ”Banyak kapal laut serta penerbangan Belanda merapat di pelabuhan dan bandara. Restoran buka hingga pukul dua pagi,” katanya.

”Dulu di daerah ini juga banyak orang Belanda. Ini yang gambar orang Belanda juga, ha-ha-ha,” kata Effendy sambil menunjukkan gambar koki gemuk berwajah Eropa dengan kumis melintang pada sampul buku menu Restoran Trio.

Dahulu kawasan Gondangdia banyak dihuni orang Belanda. Mengutip Ensiklopedia Jakarta, Warisan dan Sejarah, Gondangdia merupakan bagian dari pengembangan Weltevreden. Sejak tahun 1912, Weltevreden direncanakan Pemerintah Hindia Belanda sebagai pusat permukiman pegawainya. Jejaknya antara lain gedung peninggalan NV de Bouwploeg, perusahaan pengembang yang membangun kawasan Niew Gondangdia (sekarang Menteng). Gedung antik itu kini menjadi Masjid Cut Meutia. Weltevreden merupakan kawasan ramai di awal abad ke-20.

Halaman:
Baca tentang

    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau